Opini oleh : Sri Radjasa Chandra, M.BA
Di tengah gelimang kekayaan alam Aceh, ibarat syurga yang diturunkan Tuhan ke dunia, tapi potret kehidupan rakyat, menyajikan diorama kemiskinan dan ketidak adilan. Belum lagi perdamaian Aceh sebagai rahmat Allah SWT terhadap rakyat Aceh, tidak sedikit gelontoran dana pemerintah pusat ke Aceh, demi pembangunan kesejahteraan rakyat, untuk mengejar ketertinggalan akibat konflik, ternyata tidak juga mampu mengangkat rakyat Aceh dari jurang kemiskinan dan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa gerangan yang terjadi di tanah Indatu, kita harus berani jujur untuk membuka tabir hitam yang menyelimuti Aceh dan mengambil langkah progresif untuk membersihkan sumbatan yang beresiko kematian bagi Aceh. Paska damai Aceh, rakyat terus berusaha mengaktualisasikan diri, untuk berpartisipasi mengisi damai, demi meraih kehidupan yang lebih baik. Tapi disisi lain, para pemangku kebijakan di Aceh, menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan kroninya serta menjadi calo pembangunan dan kacung para oligarki.
Contoh ketidak adilan dan prilaku pimpinan daerah yang hanya mengejar rente dari investor besar, sedang berlangsung di wilayah Aceh Besar. Sikap Pj Bupati Aceh besar sangat melukai hati rakyat, ketika upaya rakyat melalui Koperasi Pinto Rimba untuk memperoleh rekomendasi ijin Wilayah Pertambangan Rakyat, agar dapat mengelola tambang di tanahnya sendiri, alih-alih direspons oleh Pj Bupati Aceh Besar, justru yang terjadi datang Investor besar yang dibackup asing, mengklaim atas tanah milik rakyat. Kondisi ketidak adilan semakin diperburuk, sikap Keucik yang diduga atas arahan Pj Bupati, menarik kembali surat rekomendasi yang diberikan kepada Koperasi Pinto Rimba. Padahal saat ini hasil uji coba kerjasama antara Koperasi Pinto Rimba yang beranggotakan sekitar 400 kk dengan pabrik pengolahan bahan baku tambang, setiap anggota koperasi memperoleh penghasilan rata-rata sehari 1,5 juta rupiah.
Menurut Ilham, seorang warga Loong dan anggota Koperasi Pinto Rimba, kami sudah berusaha mengikuti aturan untuk mecari nafkah yang halal, kami berusaha diatas tanah milik kami sendiri, kami tidak mengemis dari pemerintah daerah untuk didukung dana, tapi mengapa Pj Bupati Aceh Besar yang sejatinya sebagai pelayan rakyat, justru menggunakan kekuasaannya untuk mengejar rente dari investor besar yang selama ini hanya menjadikan rakyat Aceh sebagai buruh tambang. Jangan renggut kesempatan kami untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, tanpa harus mengemis bantuan dana dari pemerintah daerah. Kami tidak akan mundur untuk mempertahankan hak kami, apapun resikonya.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh berani melakukan introspeksi diri, jika tidak ingin suatu saat rakyat Aceh menuding Pemerintah Aceh sebagai biang kerok pemicu konflik baru di Aceh. Terlebih lagi belum ada prestasi yang diraih Pemerintah Aceh untuk mengangkat kesejahteraan rakyat, terbukti pertumbuhan ekonomi Aceh masih lebih tinggi pada masa konflik, dibanding pada era damai. Kepada Pj Bupati Aceh Besar, jika tidak mampu memperjuangkan hak dan nasib rakyat, akan lebih bijak jika mundur dari jabatan, sebagai kado milad perdamaian Aceh 15 Agustus 2024, karena sejatinya jabatan Bupati adalah abdi rakyat, bukan menjadi centeng bagi investor tambang.
Penulis adalah Pemerhati Aceh