OPINI – Aceh, provinsi yang telah lama dikenal sebagai pionir dalam penerapan hukum syariah di Indonesia, kini dihadapkan pada pertanyaan kritis mengenai apakah klaimnya sebagai “Nanggroe Syariat” masih relevan dan pantas. Dalam beberapa tahun terakhir, data menunjukkan bahwa Aceh menduduki peringkat pertama dalam kasus perkosaan terbanyak di Indonesia. Fakta ini tidak hanya mencerminkan paradoks yang dalam antara aspirasi syariah yang dijunjung tinggi dan realitas sosial yang dihadapi, tetapi juga menimbulkan keraguan akan kesesuaian implementasi syariah dengan nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.
Penerapan syariah di Aceh, yang tercermin dalam berbagai Qanun dan regulasi lokal, seharusnya menjadi contoh bagi daerah lain dalam menerapkan prinsip-prinsip Islam yang menghormati dan melindungi hak-hak individu. Namun, tingkat kekerasan seksual yang tinggi dan penegakan hukum yang belum memadai menunjukkan bahwa status quo yang ada belum mampu memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya. Masalah ini tidak hanya terbatas pada kelemahan dalam sistem hukum, tetapi juga pada dominasi norma-norma budaya patriarki yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang seharusnya menghormati martabat setiap individu.
Kritik terhadap penegakan hukum syariah di Aceh tidak hanya bersumber dari isu hukum semata, tetapi juga dari kebutuhan akan transformasi sosial yang lebih mendalam. Diperlukan pendekatan yang holistik dalam merumuskan solusi, termasuk reformasi hukum yang menyeluruh, peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak individu dalam Islam, serta penguatan peran ulama dan pemuka agama dalam mendidik masyarakat tentang nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanggung jawab pemerintah Aceh dalam merespons tantangan ini tidak bisa dipandang enteng. Perlunya komitmen yang kuat untuk melakukan reformasi yang substantif, bukan hanya dalam hal hukum tetapi juga dalam membangun budaya yang menghormati persamaan gender dan perlindungan hak-hak asasi manusia, menjadi kunci dalam menjawab pertanyaan kritis ini. Dengan demikian, pertanyaan “Masih pantaskah Aceh disebut Nanggroe Syariat?” harus menjadi panggilan bagi Aceh untuk melakukan introspeksi mendalam terhadap implementasi syariahnya.
Hanya dengan mengambil langkah-langkah yang nyata dan berkelanjutan, Aceh dapat kembali pada jalan yang benar untuk mewujudkan visi syariah yang adil, berkeadilan, dan menghormati hak-hak semua individu tanpa kecuali. Diperlukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk memastikan bahwa setiap langkah ke depan merupakan langkah yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang universal, bukan sekadar klaim kosong yang hanya menghiasi retorika.
Oleh : Ahmad Yusuf | Presma USM